Tuesday, November 24, 2015

Apa itu SIDRAT AL-MUNTAHA (SIDRATUL MUNTAHA)



Bismillah was shalatu was salamu ‘ala rasulillah, amma ba’du,
Sidratul muntaha [arab: سدرة المنتهى], Allah sebutkan makhluk istimewa ini dalam Al-Quran, di surat An-Najm,
أَفَتُمَارُونَهُ عَلَى مَا يَرَى وَلَقَدْ رَآهُ نَزْلَةً أُخْرَى عِنْدَ سِدْرَةِ الْمُنْتَهَى عِنْدَهَا جَنَّةُ الْمَأْوَى إِذْ يَغْشَى السِّدْرَةَ مَا يَغْشَى مَا زَاغَ الْبَصَرُ وَمَا طَغَى لَقَدْ رَأَى مِنْ آيَاتِ رَبِّهِ الْكُبْرَى
Apakah kaum (musyrik Mekah) hendak membantahnya tentang apa yang telah dilihatnya? Sesungguhnya Muhammad telah melihat Jibril itu (dalam rupanya yang asli) pada waktu yang lain, yaitu di Sidratil muntaha. di dekatnya ada syurga tempat tinggal, (Muhammad melihat Jibril) ketika Sidratul Muntaha diliputi oleh sesuatu yang meliputinya. penglihatannya (Muhammad) tidak berpaling dari yang dilihatnya itu dan tidak (pula) melampauinya. Sesungguhnya Dia telah melihat sebahagian tanda-tanda (kekuasaan) Tuhannya yang paling besar. (QS. An-Najm: 12 – 18)
Tafsir Umum
Apakah orang musyrikin hendak meragukan dan membantah bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melihat Jibril. Padahal dia telah melihat Jibril dalam bentuk aslinya sebanyak 2 kali: (1) ketika Jibril berada di atas ufuk yang tinggi (di bawah langit dunia) dan jibril mendekat untuk menyampaikan wahyu kepadanya. (2) ketika di Sidratil muntaha di atas langit ke tujuh, pada saat beliau menjalani isra’ miraj.
Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat Jibril di tempat tersebut, tempat para arwah yang tinggi dan suci, yang tidak bisa didekati setan atau arwah yang buruk.
Di dekat sidratul muntaha terdapat surga yang berisi seluruh puncak kenikmatan, yang menjadi puncak angan-angan. Ini dalil bahwa surga berada di tempat yang sangat tinggi, di atas langit ketujuh.
Ketika sidratul muntaha diliputi dengan ketetapan dari Allah. Menjadi sesuatu yang sangat besar dan indah dengan gemerlap warna. Tidak ada yang bisa menggambarkan keindahannya dengan rinci kecuali Allah. Pandangan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak tolah toleh dari arah yang menjadi tujuannya, tidak juga melebihi batas yang diizinkan. Ini menunjukkan bagaimana adab beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Beliau melihat berbagai kejadian yang luar biasa. Beliau melihat surga, melihat neraka dan melihat kejadian gaib pada malam isra miraj. (simak Taisir Karim Ar-Rahman, hlm. 818)
Makna kata: Sidratul Muntaha
Sidrah artinya pohon sidr (bidara), sama nama namun hakekatnya beda. Muntaha artinya puncak.
Ibnu Abbas dan para ahli tafsir mengatakan,
سميت سدرة المنتهى لأن علم الملائكة ينتهي إليها ولم يجاوزها أحد إلا رسول الله صلى الله عليه وسلم وحكي عن عبد الله بن مسعود رضي الله عنه أنها سميت بذلك لكونها ينتهي إليها ما يهبط من فوقها وما يصعد من تحتها من أمر الله تعالى
Dinamakan sidratul muntaha (pohon puncak), karena ilmu malaikat puncaknya sampai di sini. Tidak ada yang bisa melewatinya, kecuali Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, bahwa dinamakan sidratul muntaha karena semua ketetapan Allah yang turun, pangkalnya dari sana dan semua yang naik, ujungnya ada di sana. (Ta’liqat ‘ala Shahih Muslim, Muhamad Fuad Abdul Baqi, 1/145).
Tidak jauh berbeda dengan apa yang dsampaikan Imam As-Sa’di. Dalam tafsirnya, beliau menjelaskan alasan penamaan sidratul muntaha,
سميت سدرة المنتهى، لأنه ينتهي إليها ما يعرج من الأرض، وينزل إليها ما ينزل من الله، من الوحي وغيره، أو لانتهاء علم الخلق إليها أي: لكونها فوق السماوات والأرض، فهي المنتهى في علوها أو لغير ذلك، والله أعلم.
Dinamakan sidratul muntaha, karena tempat pohon ini merupakan puncak segala sesuatu yang naik dari bumi, dan yang Allah turunkan, pangkalnya di sidratul muntaha, baik wahyu atau lainnya. Bisa juga dimaknai, karena sidartul muntaha merupakan puncak yang diketahui makhluk. (lebih dari itu, makhluk tidak tahu), karena pohon ini berada di atas langit dan bumi. Sehingga sidratul muntaha merupakan puncak ketinggian, atau lainnya. Allahu a’lam

Sifat Sidratul Muntaha

Terdapat beberapa riwayat shahih yang menjelaskan sifat fisik Sidratul Muntaha, berikut diantaranya,
1. Hadis dari Anas radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
وَرُفِعَتْ لِي سِدْرَةُ المُنْتَهَى، فَإِذَا نَبِقُهَا كَأَنَّهُ قِلاَلُ هَجَرَ وَوَرَقُهَا كَأَنَّهُ آذَانُ الفُيُولِ فِي أَصْلِهَا أَرْبَعَةُ أَنْهَارٍ نَهْرَانِ بَاطِنَانِ، وَنَهْرَانِ ظَاهِرَانِ، فَسَأَلْتُ جِبْرِيلَ، فَقَالَ: أَمَّا البَاطِنَانِ: فَفِي الجَنَّةِ، وَأَمَّا الظَّاهِرَانِ: النِّيلُ وَالفُرَاتُ
Aku melihat Shidratul-Muntaha di langit ke tujuh. Buahnya seperti kendi daerah Hajar, dan daunnya seperti telinga gajah. Dari akarnya keluar dua sungai luar dan dua sungai dalam. Kemudian aku bertanya, “Wahai Jibril, apakah keduanya ini?” Dia menjawab, “Adapun dua yang dalam itu ada di surga sedangkan dua yang di luar itu adalah Nil dan Eufrat. (HR. Bukhari 3207)
Dalam riwayat Ahmad (12673), terdapat keterangan,
رُفِعَتْ لِي سِدْرَةُ الْمُنْتَهَى فِي السَّمَاءِ السَّابِعَةِ
“..kemudian aku melihat sidratul muntaha di langit ketujuh..”
2. Hadis dari Asma bintu Abu Bakr radhiyallahu ‘anhuma, beliau mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan tentang Sidratul Muntaha,
يَسِيرُ الرَّاكِبُ فِي ظِلِّ الفَنَنِ مِنْهَا مِائَةَ سَنَةٍ، أَوْ يَسْتَظِلُّ بِظِلِّهَا مِائَةُ رَاكِبٍ، فِيهَا فِرَاشُ الذَّهَبِ كَأَنَّ ثَمَرَهَا الْقِلَالُ
Orang yang naik kuda baru bisa melintasi bayang-bayangnya selama seratus tahun atau seratus penunggang kuda, bisa dinaungi bayang-bayangnya, di sana ada laron dari emas, buahnya seperti kendi besar. (HR. Turmudzi 2541 dan beliau menilai: Hasan Shahih).
3. Hadis dari Abu Dzar radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
حَتَّى انْتَهَى بِي إِلَى سِدْرَةِ المُنْتَهَى، وَغَشِيَهَا أَلْوَانٌ لاَ أَدْرِي مَا هِيَ
“…hingga saya berhenti di sidratil muntaha, dan pohon ini diliputi warna, yang saya tidak tahu apa itu.”
4. Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لَمَّا عُرِجَ بِي إِلَى السَّمَاءِ السَّابِعَةِ ذُهِبَ بِي إِلَى سِدْرَةِ الْمُنْتَهَى، …. فَلَمَّا غَشِيَهَا مِنْ أَمْرِ اللَّهِ مَا غَشِيَهَا، تَغَيَّرَتْ، فَمَا أَحَدٌ مِنَ النَّاسِ يَسْتَطِيعُ أَنْ يَنْعَتَهَا مِنْ حُسْنِهَا
Ketika saya dimi’rajkan ke langit ke tujuh, saya diajak ke sidratul muntaha,… ketika pohon ini diliputi perintah Allah, dia berubah. Tidak ada seorangpun manusia yang mampu menggambarkannya, karena sangat indah. (HR. Abu Ya’la Al-Mushili 3450 dan dishahihkan Husain Salim Asad).
Dari beberapa hadis di atas, kita bisa menyimpulkan gambaran Sidratul Muntaha,
  1. Sidratul muntaha bentuknya pohon, layaknya pohon bidara. Sama nama, namun beda hakekat.
  2. Pohon ini berada di atas langit ketujuh.
  3. Pohon ini sangat besar, hingga ketika penunggang kuda hendak melintasi bayang-bayangnya, dia membutuhkan waktu 100 tahun baru bisa sampai ke ujung.
  4. Sidratul muntaha memiliki duan dan buah
  5. Daun sidratul muntaha seperti telinga gajah, dan buahnya seperti kendi yang sangat besar.
  6. Terdapat laron-laron dari emas di sana.
  7. Diliputi dengan perintah Allah, hingga warnanya berubah.
  8. Pohon sidratul muntaha sangat indah, hingga tidak ada manusia yang mampu menggambarkan keindahannya.
  9. Di dekat sidratul muntaha terdapat surga
Ya Rab, berikan kami kekuatan istiqamah dan masukkan kami ke dalam surga-Mu dengan rahmat-Mu. Amiin
Allahu a’lam

Thursday, October 22, 2015

Kisah Teladan dan Keutamaan Khalifah Umar Bin Al-Khattab Rhadiallahu 'Anhu

                              

Umar bin al-Khattab adalah seorang khalifah yang sangat terkenal, perjalanan hidupnya adalah teladan yang diikuti, dan kepemimpinannya adalah sesuatu yang diimpikan. Banyak orang saat ini memimpikan, kiranya Umar hidup di zaman ini dan memipin umat yang tengah kehilangan jati diri.
Ada beberapa gelintir orang yang tidak menyukai khalifah yang mulia ini, mereka mengatakan al-Faruq telah mencuri haknya Ali. Menurut mereka, Ali bin Abi Thalib lebih layak dan lebih pantas dibanding Umar untuk menjadi khalifah pengganti Nabi. Berangkat dari klaim tersebut, mulailah mereka melucuti kemuliaan dan keutamaan Umar. Mereka buat berita-berita palsu demi rusaknya citra amirul mukminin Umar bin Khattab. Mereka puja orang yang memusuhinya dan pembunuhnya pun digelari pahlawan bangsa.
Berikut ini kami cuplikkan kabar-kabar ilahi yang bercerita tentang keutamaan, kemuliaan, dan kedudukan Umar bin Khattab, karena seperti itulah ia layak untuk diceritakan.
Nasab dan Ciri Fisiknya
Ia adalah Umar bin al-Khattab bin Nufail bin Adi bin Abdul Uzza bin Riyah bin Abdullah bin Qurth bin Razah bin Adi bin Ka’ab bin Luai, Abu Hafsh al-Adawi. Ia dijuluki al-Faruq.
Ibunya bernama Hantamah binti Hisyam bin al-Mughirah. Ibunya adalah saudari tua dari Abu Jahal bin Hisyam.
Ia adalah seseorang yang berperawakan tinggi, kepala bagian depannya plontos, selalu bekerja dengan kedua tangannya, matanya hitam, dan kulitnya kuning. Ada pula yang mengatakan kulitnya putih hingga kemerah-merahan. Giginya putih bersih dan mengkilat. Selalu mewarnai janggutnya dan merapikan rambutnya dengan inai (daun pacar) (Thabaqat Ibnu Saad, 3: 324).
Amirul mukminin Umar bin Khattab adalah seorang yang sangat rendah hati dan sederhana, namun ketegasannya dalam permasalahan agama adalah ciri khas yang kental melekat padanya. Ia suka menambal bajunya dengan kulit, dan terkadang membawa ember di pundaknya, akan tetapi sama sekali tak menghilangkan ketinggian wibawanya. Kendaraannya adalah keledai tak berpelana, hingga membuat heran pastur Jerusalem saat berjumpa dengannya. Umar jarang tertawa dan bercanda, di cincinnya terdapat tulisan “Cukuplah kematian menjadi peringatan bagimu hai Umar.”
Keistimewaan dan Keutamaannya
– Umar adalah Penduduk Surga Yang Berjalan di Muka Bumi
Diriwayatkan dari Said bin al-Musayyib bahwa Abu Hurairah berkata, ketika kami berada di sisi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda,
“Sewaktu tidur aku bermimpi seolah-olah aku sedang berada di surga. Kemudian aku melihat seorang wanita sedang berwudhu di sebuah istana (surga), maka aku pun bertanya, ‘Milik siapakah istana ini?’ Wanita-wanita yang ada di sana menjawab, ‘Milik Umar.’ Lalu aku teringat dengan kecemburuan Umar, aku pun menjauh (tidak memasuki) istana itu.” Umar radhiallahu ‘anhu menangis dan berkata, “Mana mungkin aku akan cemburu kepadamu wahai Rasulullah.”
Subhanallah! Kala Umar masih hidup di dunia bersama Rasulullah dan para sahabatnya, namun istana untuknya telah disiapkan di tanah surga.
– Mulianya Islam dengan Perantara Umar
Dalam sebuah hadisnya Rasulullah pernah mengabarkan betapa luasnya pengaruh Islam di masa Umar bin Khattab radhiallahu ‘anhu. Beliau bersabda,
“Aku bermimpi sedang mengulurkan timba ke dalam sebuah sumur yang ditarik dengan penggerek. Datanglah Abu Bakar mengambil air dari sumur tersebut satu atau dua timba dan dia terlihat begitu lemah menarik timba tersebut, -semoga Allah Ta’ala mengampuninya-. Setelah itu datanglah Umar bin al-Khattab mengambil air sebanyak-banyaknya. Aku tidak pernah melihat seorang pemimpin abqari (pemimpin yang begitu kuat) yang begitu gesit, sehingga setiap orang bisa minum sepuasnya dan juga memberikan minuman tersebut untuk onta-onta mereka.”
Abdullah bin Mas’ud mengatakan, “Kami menjadi kuat setelah Umar memeluk Islam.”
– Kesaksian Ali bin Abi Thalib Tentang Umar bin al-Khattab
Diriwayatkan dari Ibnu Mulaikah, dia pernah mendengar Abdullah bin Abbas berkata, “Umar radhiallahu ‘anhu ditidurkan di atas kasurnya (menjelang wafatnya), dan orang-orang yang berkumpul di sekitarnya mendoakan sebelum dipindahkan –ketika itu aku hadir di tengah orang-orang tersebut-. Aku terkejut tatkala seseorang memegang kedua pundakku dan ternyata ia adalah Ali bin Abi Thalib. Kemudian Ali berkata (memuji dan mendoakan Umar seperti orang-orang lainnya), “Engkau tidak pernah meninggalkan seseorang yang dapat menyamai dirimu dan apa yang telah engkau lakukan. Aku berharap bisa menjadi sepertimu tatkala menghadap Allah Subhanahu wa Ta’ala. Demi Allah, aku sangat yakin bahwa Allah akan mengumpulkanmu bersama dua orang sahabatmu (Rasulullah dan Abu Bakar).
Aku sering mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Aku berangkat bersama Abu Bakar dan Umar, aku masuk bersama Abu Bakar dan Umar, dan aku keluar bersama Abu Bakar dan Umar.”
– Umar adalah Seorang yang Mendapat Ilham
Diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya di antara orang-orang sebelum kalian terdapat sejumlah manusia yang mendapat ilham. Apabila salah seorang umatku mendapakannya, maka Umarlah orangnya.”
Zakaria bin Abi Zaidah menambahkan dari Sa’ad dari Abi Salamah dari Abu Hurairah, dia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya orang-orang sebelum kalian dari Bani Israil ada yang diberikan ilham walaupun mereka bukan nabi. Jika salah seorang dari umatku mendapatkannya, maka Umarlah orangnya.”
– Wibawa Umar
Dari Aisyah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya setan lari ketakutan jika bertemu Umar.”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Umatku yang paling penyayang adalah Abu Bakar dan yang paling tegas dalam menegakkan agama Allah adalah Umar.” (HR. Tirmidzi dalam al-Manaqib, hadits no. 3791)
Demikianlah di antara keutamaan Umar bin al-Khattab yang secara langsung diucapkan dan dilegitimasi oleh Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Semoga Allah meridhai Umar bin al-Khattab.

Sumber: al-Bidayah wa an-Nihayah

Kisah Teladan Khalifah ABU BAKAR ASH-SIDDIQ Radhiallahu ‘Anhu

                        

Abu Bakar ash-Shiddiq adalah sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang paling utama bahkan ia adalah manusia paling mulia setelah para nabi dan rasul. Abu Bakar memeluk Islam tatkala orang-orang masih mengingkari Nabi.
Ammar bin Yasir radhiallahu ‘anhu mengatakan, “(Di awal Islam) Aku melihat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam hanya bersama lima orang budak, dua orang wanita, dan Abu Bakar ash-Shiddiq radhiallahu ‘anhum ‘ajmain.” (Riwayat Bukhari).
Sebagaimana telah masyhur, laqob ash-shiddiq disematkan padanya karena ia selalu membenarkan apa yang datang dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sebagaimana pada pagi hari setelah kejadian isra mi’raj orang-orang kafir berkata kepadanya, “Temanmu (Muhammad) mengaku-ngaku telah pergi ke Baitul Maqdis dalam semalam”. Abu Bakar menjawab, “Jika ia berkata demikian, maka itu benar”.
Keutamaan Abu Bakar
Pertama, dijamin masuk surga dan memasuki semua pintu yang ada di sana, padahal saat itu beliau masih menjejakkan kaki di muka bumi. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Orang yang menyumbangkan dua harta di jalan Allah, maka ia akan dipanggil oleh salah satu dari pintu surga: “Wahai hamba Allah, kemarilah untuk menuju kenikmatan”. Jika ia berasal dari golongan orang-orang yang suka mendirikan shalat, ia akan dipanggil dari pintu shalat, yang berasal dari kalangan mujahid, maka akan dipanggil dari pintu jihad, jika ia berasal dari golongan yang gemar bersedekah akan dipanggil dari pintu sedekah, mereka yang berpuasa akan dipanggila dari pintu puasa, yaitu pintu Rayyan. Lantas Abu Bakar bertanya; “Jika seseorang (yang masuk surga) dipanggil dari salah satu pintu, itu adalah sebuah kepastian. Apakah mungkin ada orang akan dipanggil dari semua pintu tersebut wahai Rasulullah?”. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Benar, dan aku berharap kamu termasuk diantara mereka, wahai Abu Bakar.” (HR. al-Bukhari & Muslim).
Kedua, Abu Bakar adalah laki-laki yang paling dicintai oleh Rasulu shallallahu ‘alaihi wa sallam. ‘Amr bin Al Ash radhiallahu’anhu bertanya kepada Nabi shallallahu’alahi wa sallam, “Siapa orang yang kau cintai?. Rasulullah menjawab: ‘Aisyah’. Aku bertanya lagi: ‘Kalau laki-laki?’. Beliau menjawab: ‘Ayahnya Aisyah’ (yaitu Abu Bakar)” (HR. Muslim).
Ketiga, Allah mempersaksikan bahwa Abu Bakar adalah orang yang ikhlas dalam mengamalkan ajaran Islam. Allah Ta’ala berfirman,
وَسَيُجَنَّبُهَا الْأَتْقَى. الَّذِي يُؤْتِي مَالَهُ يَتَزَكَّىٰ. وَمَا لِأَحَدٍ عِنْدَهُ مِنْ نِعْمَةٍ تُجْزَىٰ. إِلَّا ابْتِغَاءَ وَجْهِ رَبِّهِ الْأَعْلَىٰ. وَلَسَوْفَ يَرْضَىٰ
“Dan kelak akan dijauhkan orang yang paling takwa dari neraka itu, Yang menafkahkan hartanya (di jalan Allah) untuk membersihkannya, Padahal tidak ada seorang pun memberikan suatu nikmat kepadanya yang harus dibalasnya, Tetapi (dia memberikan itu semata-mata) karena mencari keridaan Tuhannya Yang Maha Tinggi. Dan kelak dia benar-benar mendapat kepuasan” (QS. Al Lail: 17-21)
Para ulama, di antaranya Syaikh Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di ketika menafsirkan ayat ini beliau berkata, sebab turun ayat ini adalah berkaitan dengan Abu Bakar ash-Shiddiq (Tafsir as-Sa’di, Hal: 886).
Keempat, orang-orang musyrik menyifati Abu Bakar sebagaimana Khadijah menyifati Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Abu Bakar adalah salah seorang sahabat yang diperintahkan Rasulullah untuk berhijrah ke negeri Habasyah. Meskipun Abu Bakar lebih senang berada di sisi Rasulullah, namun Rasulullah mengkhawatirkan keselematan Abu Bakar karena kabilahnya termasuk kabilah yang lemah, tidak mampu melindunginya dari ancaman orang-orang kafir Quraisy.
Dalam perjalanan menuju Habasyah, saat sampai di suatu wilayah yang bernama Barku al-Ghumad, Abu Bakar berjumpa dengan seseorang yang dikenal dengan Ibnu Dughnah yang kemudian menanyakan perihal tentangnya. Lalu Ibnu Dughnah mengajaka Abu Bakar kembali ke Mekah dan ia berkata kepada kafir Quraisy, “Apakah kalian mengusir orang yang suka menghilangkan beban orang-orang miskin, menyambung silaturahim, menanggung orang-orang yang lemah, menjamu tamu, dan selalu menolong di jalan kebenaran?” (Riwayat Bukhari)
Sifat yang sama seperti sifat yang dikatakan Ummul Mukminin Khadijah tatkala menenangkan Rasulullah tatkala pertama kali menerima wahyu.
Oleh karena itu, tidak heran sampai-sampai Umar bin al-Khattab menyifati keimanan Abu Bakar dengan permisalan yang sangat luar biasa. Umar mengatakan, “Seandainya ditimbang iman Abu Bakar dengan iman seluruh penduduk bumi, niscaya lebih berat iman Abu Bakar.” (as-Sunnah, Jilid 1 hal. 378).
Meneladani Abu Bakar
Pertama, meneladani kecintaannya kepada Rasulullah.
Diriwayatkan dari Aisyah radhiallahu ‘anha, ia menceritakan, setiap harinya Rasulullah selalu datang ke rumah Abu Bakar di waktu pagi atau di sore hari. namun pada hari dimana Rasulullah diizinkan untuk berhijrah, beliau datang tidak pada waktu biasanya. Abu Bakar yang melihat kedatangan Rasulullah berkata, “Tidaklah Rasulullah datang di waktu (luar kebiasaan) seperti ini, pasti karena ada urusan yang sangat penting”. Saat tiba di rumah Abu Bakar, Rasulullah bersabda, “Aku telah diizinkan untuk berhijrah”. Kemudian Abu Bakar menanggapi, “Apakah Anda ingin agar aku menemanimu wahai Rasulullah?” Rasulullah menjawab, “Iya, temani aku”. Abu Bakar pun menangis.
Kemudian Aisyah mengatakan, “Demi Allah! Sebelum hari ini, aku tidak pernah sekalipun melihat seseorang menagis karena berbahagia. Aku melihat Abu Bakar menangis pada hari itu”.
Abu Bakar kemudian berkata, “Wahai Nabi Allah, ini adalah kedua kudaku yang telah aku persiapkan untuk hari ini”. Atsar ini diriwayatkan oleh Imam Bukhari.
Subhanallah! Abu Bakar menangis bahagia karena bisa hijrah bersama Rasulullah. Padahal hijrah dari Mekah ke Madinah kala itu benar-benar membuat nyawa terancam, meninggalkan harta, meninggalkan keluarga; anak dan istri yang ia cintai, tapi cinta Abu Bakar kepada Rasulullah membuatnya lebih mengutamakan Rasulullah daripada harta, anak, istri, bahkan dirinya sendiri.
Kedua, menangis saat membaca Alquran.
Abu Bakar adalah seorang laki-laki yang amat lembut hatinya sehingga tatkala membaca Alquran, matanya senantiasa berurai air mata. Tatkala Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sakit menjelang wafatnya, beliau memerintahkan Abu Bakar agar mengimami kaum muslimin. Lalu Aisyah mengomentari hal itu, “Sesungguhnya Abu Bakar adalah seorang yang sangat lembut, apabila ia membaca Alquran, ia tak mampu menahan tangisnya”. Aisyah khawatir kalau hal itu mengganggu para jamaah. Namun Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tetap memerintahkan agar Abu Bakar mengimami kaum muslimin.
Karena bacaan Alqurannya pula, orang-orang kafir Quraisy mengeluh kepada Ibnu Dhughnah –orang yang menjamin Abu Bakar- agar ia meminta Abu Bakar membaca Alquran di dalam rumahnya saja, tidak di halaman rumah, apalagi di tempat-tempat umum. Mereka khawatir istri-istri dan anak-anak mereka terpengaruh dengan lantunan ayat suci yang dibaca oleh Abu Bakar.
Ketiga, berhati-hati terhadap harta yang haram atau syubhat.
Dikisahkan pula dari Aisyah radhiallahu’anha, ia berkata:
“Abu Bakar ash-Shiddiq memiliki budak laki-laki yang senantiasa mengeluarkan kharraj (setoran untuk majikan) padanya. Abu Bakar biasa makan dari kharraj itu. Pada suatu hari ia datang dengan sesuatu, yang akhirnya Abu Bakar makan darinya. Tiba-tiba sang budak berkata, ‘Apakah Anda tahu dari mana makanan ini?’. Abu Bakar bertanya, ‘Dari mana?’ Ia menjawab, ‘Dulu pada masa jahiliyah aku pernah menjadi dukun yang menyembuhkan orang. Padahal bukannya aku pandai berdukun, namun aku hanya menipunya. Lalu si pasien itu menemuiku dan memberi imbalan buatku. Yang Anda makan saat ini adalah hasil dari upah itu. Akhirnya Abu Bakar memasukkan tangannya ke dalam mulutnya hingga keluarlah semua yang ia makan.” (HR. Bukhari).
Kami tutup tulisan ini dengan sebuah hadits dari Anas bin Malik. Ada seseorang yang bertanya pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Kapan terjadi hari kiamat, wahai Rasulullah?”Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Apa yang telah engkau persiapkan untuk menghadapinya?”Orang tersebut menjawab, “Aku tidaklah mempersiapkan untuk menghadapi hari tersebut dengan banyak shalat, banyak puasa dan banyak sedekah. Tetapi yang aku persiapkan adalah cinta Allah dan Rasul-Nya.”Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata,
أَنْتَ مَعَ مَنْ أَحْبَبْتَ
“(Kalau begitu) engkau akan bersama dengan orang yang engkau cintai.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Dalam riwayat lain, Anas mengatakan, “Kami tidaklah pernah merasa gembira sebagaimana rasa gembira kami ketika mendengar sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam: Anta ma’a man ahbabta (Engkau akan bersama dengan orang yang engkau cintai).”Anas pun mengatakan, “Kalau begitu aku mencintai Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, Abu Bakar, dan ‘Umar. Aku berharap bisa bersama dengan mereka karena kecintaanku pada mereka, walaupun aku tidak bisa beramal seperti amalan mereka.” (HR. Bukhari).

Friday, October 9, 2015


Remaja Potensi Vs Remaja Modern

NGOMONGIN remaja jaman sekarang biasanya cenderung connect ama yang namanya love, emotion, mood, attitude. Remaja menjadi salah satu pemegang tongkat estafet suatu bangsa.
Remajalah yang nantinya akan menggantikan dan meneruskan misi bangsa. Sebuah Negara dapat dikatakan berhasil dan maju bisa dilihat dari tingkah laku dan pola pikirnya.
Pemuda atau remaja punya semangat yang sangat luar biasa. Pemuda pula yang pemilik gagasan emas yang ada didalamnya. Pemuda sangat berperan dalam mengekplor benih-benih kapabelitasnya contohnya mereka lebih senang dengan tantangan disbanding harus diam.
Namun faktanya pemuda hari ini banyak mengikuti pedoman gaya hedon atau hura-hura. Dalam data riset tahun 2008 remaja seirig jaman nya waktu perkembangan remaja malah anjlok. Terlebih tahun yang tercatat sebanyak 286.494 pengguna narkoba.
Selain itu tidak hanya pengguna narkoba, pelaku aborsi marak menjadi perbincangan negeri ini dengan peningkatan 2,5 juta kasus pertahun. Na’udzubillah.
Trend yang menjadi acuan prilaku menjadi langkah eksis seseorang berada dalam kondisi seperti itu, contoh halnya ngedugem dibilang eksis, dan orang yang tidak ikut tawuran dikatakan banci.
Pemikiran dan gaya yang nyeleneh seperti ini sangat dilarang oleh islam dan neraka jahanam menjadi balasannya.
Remaja yang berpotensi tentu akan berpikir dua kali dan menimbang yag baik untuk dirinya. Islam sangat menganjurkan dan mewajibkan seorang muslim dapat berpedoman pada Al-Qur’an untuk mengatur persoalan hidup sampai kita mati.
Islam dan segala perangkatnya seyogyanya akan membawa kita kedalam kebaikan, dan bermanfaat untuk mengobarkan semangat islam yang sesungguhnya. Mereka yang kuat dengan kondisi jaman sekarang, maka dialah pemenangnya.


Wednesday, October 7, 2015

Mush’ab bin Umair, Teladan Bagi Para Pemuda Islam

Masa muda atau usia remaja adalah saat orang-orang mulai mengenal dan merasakan manisnya dunia. Pada fase ini, banyak pemuda lalai dan lupa, jauh sekali lintasan pikiran akan kematian ada di benak mereka. Apalagi bagi mereka orang-orang yang kaya, memiliki fasilitas hidup yang dijamin orang tua. Mobil yang bagus, uang saku yang cukup, tempat tinggal yang baik, dan kenikmatan lainnya, maka pemuda ini merasa bahwa ia adalah raja.
Di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, ada seorang pemuda yang kaya, berpenampilan rupawan, dan biasa dengan kenikmatan dunia. Ia adalah Mush’ab bin Umair. Ada yang menukilkan kesan pertama al-Barra bin Azib ketika pertama kali melihat Mush’ab bin Umair tiba di Madinah. Ia berkata,
رَجُلٌ لَمْ أَرَ مِثْلَهُ كَأَنَّهُ مِنْ رِجَالِ الجَنَّةِ
“Seorang laki-laki, yang aku belum pernah melihat orang semisal dirinya. Seolah-olah dia adalah laki-laki dari kalangan penduduk surga.”
Ia adalah di antara pemuda yang paling tampan dan kaya di Kota Mekah. Kemudian ketika Islam datang, ia jual dunianya dengan kekalnya kebahagiaan di akhirat.
Kelahiran dan Masa Pertumbuhannya
Mush’ab bin Umair dilahirkan di masa jahiliyah, empat belas tahun (atau lebih sedikit) setelah kelahiran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dilahirkan pada tahun 571 M (Mubarakfuri, 2007: 54), sehingga Mush’ab bin Umair dilahirkan pada tahun 585 M.
Ia merupakan pemuda kaya keturunan Quraisy; Mush’ab bin Umair bin Hasyim bin Abdu Manaf bin Abdud Dar bin Qushay bin Kilab al-Abdari al-Qurasyi.
Dalam Asad al-Ghabah, Imam Ibnul Atsir mengatakan, “Mush’ab adalah seorang pemuda yang tampan dan rapi penampilannya. Kedua orang tuanya sangat menyayanginya. Ibunya adalah seorang wanita yang sangat kaya. Sandal Mush’ab adalah sandal al-Hadrami, pakaiannya merupakan pakaian yang terbaik, dan dia adalah orang Mekah yang paling harum sehingga semerbak aroma parfumnya meninggalkan jejak di jalan yang ia lewati.” (al-Jabiri, 2014: 19).
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَا رَأَيْتُ بِمَكَّةَ أَحَدًا أَحْسَنَ لِمَّةً ، وَلا أَرَقَّ حُلَّةً ، وَلا أَنْعَمَ نِعْمَةً مِنْ مُصْعَبِ بْنِ عُمَيْرٍ
“Aku tidak pernah melihat seorang pun di Mekah yang lebih rapi rambutnya, paling bagus pakaiannya, dan paling banyak diberi kenikmatan selain dari Mush’ab bin Umair.” (HR. Hakim).
Ibunya sangat memanjakannya, sampai-sampai saat ia tidur dihidangkan bejana makanan di dekatnya. Ketika ia terbangun dari tidur, maka hidangan makana sudah ada di hadapannya.
Demikianlah keadaan Mush’ab bin Umair. Seorang pemuda kaya yang mendapatkan banyak kenikmatan dunia. Kasih sayang ibunya, membuatnya tidak pernah merasakan kesulitan hidup dan kekurangan nikmat.
Menyambut Hidayah Islam
Orang-orang pertama yang menyambut dakwah Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah istri beliau Khadijah, sepupu beliau Ali bin Abi Thalib, dan anak angkat beliau Zaid bin Haritsah radhiyallahu ‘anhum. Kemudian diikuti oleh beberapa orang yang lain. Ketika intimidasi terhadap dakwah Islam yang baru saja muncul itu kian menguat, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berdakwah secara sembunyi-sembunyi di rumah al-Arqam bin Abi al-Arqam radhiyallahu ‘anhu. Sebuah rumah yang berada di bukit Shafa, jauh dari pengawasan orang-orang kafir Quraisy.
Mush’ab bin Umair yang hidup di lingkungan jahiliyah; penyembah berhala, pecandu khamr, penggemar pesta dan nyanyian, Allah beri cahaya di hatinya, sehingga ia mampu membedakan manakah agama yang lurus dan mana agama yang menyimpang. Manakah ajaran seorang Nabi dan mana yang hanya warsisan nenek moyang semata. Dengan sendirinya ia bertekad dan menguatkan hati untuk memeluk Islam. Ia mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di rumah al-Arqam dan menyatakan keimanannya.
Kemudian Mush’ab menyembunyikan keislamannya sebagaimana sahabat yang lain, untuk menghindari intimidasi kafir Quraisy. Dalam keadaan sulit tersebut, ia tetap terus menghadiri majelis Rasulullah untuk menambah pengetahuannya tentang agama yang baru ia peluk. Hingga akhirnya ia menjadi salah seorang sahabat yang paling dalam ilmunya. Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutusnya ke Madinah untuk berdakwah di sana.
Menjual Dunia Untuk Membeli Akhirat
Suatu hari Utsmani bin Thalhah melihat Mush’ab bin Umair sedang beribadah kepada Allah Ta’ala, maka ia pun melaporkan apa yang ia lihat kepada ibunda Mush’ab. Saat itulah periode sulit dalam kehidupan pemuda yang terbiasa dengan kenikmatan ini dimulai.
Mengetahui putra kesayangannya meninggalkan agama nenek moyang, ibu Mush’ab kecewa bukan kepalang. Ibunya mengancam bahwa ia tidak akan makan dan minum serta terus beridiri tanpa naungan, baik di siang yang terik atau di malam yang dingin, sampai Mush’ab meninggalkan agamanya. Saudara Mush’ab, Abu Aziz bin Umair, tidak tega mendengar apa yang akan dilakukan sang ibu. Lalu ia berujar, “Wahai ibu, biarkanlah ia. Sesungguhnya ia adalah seseorang yang terbiasa dengan kenikmatan. Kalau ia dibiarkan dalam keadaan lapar, pasti dia akan meninggalkan agamanya”. Mush’ab pun ditangkap oleh keluarganya dan dikurung di tempat mereka.
Hari demi hari, siksaan yang dialami Mush’ab kian bertambah. Tidak hanya diisolasi dari pergaulannya, Mush’ab juga mendapat siksaan secara fisik. Ibunya yang dulu sangat menyayanginya, kini tega melakukan penyiksaan terhadapnya. Warna kulitnya berubah karena luka-luka siksa yang menderanya. Tubuhnya yang dulu berisi, mulai terlihat mengurus.
Berubahlah kehidupan pemuda kaya raya itu. Tidak ada lagi fasilitas kelas satu yang ia nikmati. Pakaian, makanan, dan minumannya semuanya berubah. Ali bin Abi Thalib berkata, “Suatu hari, kami duduk bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di masjid. Lalu muncullah Mush’ab bin Umair dengan mengenakan kain burdah yang kasar dan memiliki tambalan. Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melihatnya, beliau pun menangis teringat akan kenikmatan yang ia dapatkan dahulu (sebelum memeluk Islam) dibandingkan dengan keadaannya sekarang…” (HR. Tirmidzi No. 2476).
Zubair bin al-Awwam mengatakan, “Suatu ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sedang duduk dengan para sahabatnya di Masjid Quba, lalu muncullah Mush’ab bin Umair dengan kain burdah (jenis kain yang kasar) yang tidak menutupi tubuhnya secara utuh. Orang-orang pun menunduk. Lalu ia mendekat dan mengucapkan salam. Mereka menjawab salamnya. Lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memuji dan mengatakan hal yang baik-baik tentangnya. Dan beliau bersabda, “Sungguh aku melihat Mush’ab tatkala bersama kedua orang tuanya di Mekah. Keduanya memuliakan dia dan memberinya berbagai macam fasilitas dan kenikmatan. Tidak ada pemuda-pemuda Quraisy yang semisal dengan dirinya. Setelah itu, ia tinggalkan semua itu demi menggapai ridha Allah dan menolong Rasul-Nya…” (HR. Hakim No. 6640).
Saad bin Abi Waqqash radhiayallahu ‘anhu berkata, “Dahulu saat bersama orang tuanya, Mush’ab bin Umair adalah pemuda Mekah yang paling harum. Ketika ia mengalami apa yang kami alami (intimidasi), keadaannya pun berubah. Kulihat kulitnya pecah-pecah mengelupas dan ia merasa tertatih-taih karena hal itu sampai-sampai tidak mampu berjalan. Kami ulurkan busur-busur kami, lalu kami papah dia.” (Siyar Salafus Shaleh oleh Ismail Muhammad Ashbahani, Hal: 659).
Demikianlah perubahan keadaan Mush’ab ketika ia memeluk Islam. Ia mengalami penderitaan secara materi. Kenikmatan-kenikmatan materi yang biasa ia rasakan tidak lagi ia rasakan ketika memeluk Islam. Bahkan sampai ia tidak mendapatkan pakaian yang layak untuk dirinya. Ia juga mengalami penyiksaan secara fisik sehingga kulit-kulitnya mengelupas dan tubuhnya menderita. Penderitaan yang ia alami juga ditambah lagi dengan siksaan perasaan ketika ia melihat ibunya yang sangat ia cintai memotong rambutnya, tidak makan dan minum, kemudian berjemur di tengah teriknya matahari agar sang anak keluar dari agamanya. Semua yang ia alami tidak membuatnya goyah. Ia tetap teguh dengan keimanannya.
Peranan Mush’ab Dalam Islam
Mush’ab bin Umair adalah salah seorang sahabat nabi yang utama. Ia memiliki ilmu yang mendalam dan kecerdasan sehingga Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutusnya untuk mendakwahi penduduk Yatsrib, Madinah.
Saat datang di Madinah, Mush’ab tinggal di tempat As’ad bin Zurarah. Di sana ia mengajrkan dan mendakwahkan Islam kepada penduduk negeri tersebut, termasuk tokoh utama di Madinah semisal Saad bin Muadz. Dalam waktu yang singkat, sebagian besar penduduk Madinah pun memeluk agama Allah ini. Hal ini menunjukkan –setelah taufik dari Allah- akan kedalaman ilmu Mush’ab bin Umair dan pemahamanannya yang bagus terhadap Alquran dan sunnah, baiknya cara penyampaiannya dan kecerdasannya dalam berargumentasi, serta jiwanya yang tenang dan tidak terburu-buru.
Hal tersebut sangat terlihat ketika Mush’ab berhadap dengan Saad bin Muadz. Setelah berhasil mengislamkan Usaid bin Hudair, Mush’ab berangkat menuju Saad bin Muadz. Mush’ab berkata kepada Saad, “Bagaimana kiranya kalau Anda duduk dan mendengar (apa yang hendak aku sampaikan)? Jika engkau ridha dengan apa yang aku ucapkan, maka terimalah. Seandainya engkau membencinya, maka aku akan pergi”. Saad menjawab, “Ya, yang demikian itu lebih bijak”. Mush’ab pun menjelaskan kepada Saad apa itu Islam, lalu membacakannya Alquran.
Saad memiliki kesan yang mendalam terhadap Mush’ab bin Umair radhiyallahu ‘anhu dan apa yang ia ucapkan. Kata Saad, “Demi Allah, dari wajahnya, sungguh kami telah mengetahui kemuliaan Islam sebelum ia berbicara tentang Islam, tentang kemuliaan dan kemudahannya”. Kemudian Saad berkata, “Apa yang harus kami perbuat jika kami hendak memeluk Islam?” “Mandilah, bersihkan pakaianmu, ucapkan dua kalimat syahadat, kemudian shalatlah dua rakaat”. Jawab Mush’ab. Saad pun melakukan apa yang diperintahkan Mush’ab.
Setelah itu, Saad berdiri dan berkata kepada kaumnya, “Wahai Bani Abdu Asyhal, apa yang kalian ketahui tentang kedudukanku di sisi kalian?” Mereka menjawab, “Engkau adalah pemuka kami, orang yang paling bagus pandangannya, dan paling lurus tabiatnya”.
Lalu Saad mengucapkan kalimat yang luar biasa, yang menunjukkan begitu besarnya wibawanya di sisi kaumnya dan begitu kuatnya pengaruhnya bagi mereka, Saad berkata, “Haram bagi laki-laki dan perempuan di antara kalian berbicara kepadaku sampai ia beriman kepada Allah dan Rasul-Nya!”
Tidak sampai sore hari seluruh kaumnya pun beriman kecuali Ushairim.
Karena taufik dari Allah kemudian buah dakwah Mush’ab, Madinah pun menjadi tempat pilihan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya hijrah. Dan kemudian kota itu dikenal dengan Kota Nabi Muhammad (Madinah an-Nabawiyah).
Wafatnya
Mush’ab bin Umair adalah pemegang bendera Islam di peperangan. Pada Perang Uhud, ia mendapat tugas serupa. Muhammad bin Syarahbil mengisahkan akhir hayat sahabat yang mulia ini. Ia berkata:
Mush’ab bin Umair radhiyallahu ‘anhu membawa bendera perang di medan Uhud. Lalu datang penunggang kudak dari pasukan musyrik yang bernama Ibnu Qumai-ah al-Laitsi (yang mengira bahwa Mush’ab adalah Rasulullah), lalu ia menebas tangan kanan Mush’ab dan terputuslah tangan kanannya. Lalu Mush’ab membaca ayat:
وَمَا مُحَمَّدٌ إِلَّا رَسُولٌ قَدْ خَلَتْ مِنْ قَبْلِهِ الرُّسُلُ ۚ
“Muhammad itu tidak lain hanyalah seorang rasul, sungguh telah berlalu sebelumnya beberapa orang rasul.” (QS. Ali Imran: 144).
Bendera pun ia pegang dengan tangan kirinya. Lalu Ibnu Qumai-ah datang kembali dan menebas tangan kirinya hingga terputus. Mush’ab mendekap bendera tersebut di dadanya sambal membaca ayat yang sama:
وَمَا مُحَمَّدٌ إِلَّا رَسُولٌ قَدْ خَلَتْ مِنْ قَبْلِهِ الرُّسُلُ ۚ
“Muhammad itu tidak lain hanyalah seorang rasul, sungguh telah berlalu sebelumnya beberapa orang rasul.” (QS. Ali Imran: 144).
Kemudian anak panah merobohkannya dan terjatuhlah bendera tersebut. Setelah Mush’ab gugur, Rasulullah menyerahkan bendera pasukan kepada Ali bin Abi Thalib (Ibnu Ishaq, Hal: 329).
Lalu Ibnu Qumai-ah kembali ke pasukan kafir Quraisy, ia berkata, “Aku telah membunuh Muhammad”.
Setelah perang usai, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memeriksa sahabat-sahabatnya yang gugur. Abu Hurairah mengisahkan, “Setelah Perang Uhud usai, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mencari sahabat-sahabatnya yang gugur. Saat melihat jasad Mush’ab bin Umair yang syahid dengan keadaan yang menyedihkan, beliau berhenti, lalu mendoakan kebaikan untuknya. Kemudian beliau membaca ayat:
مِنَ الْمُؤْمِنِينَ رِجَالٌ صَدَقُوا مَا عَاهَدُوا اللَّهَ عَلَيْهِ ۖ فَمِنْهُمْ مَنْ قَضَىٰ نَحْبَهُ وَمِنْهُمْ مَنْ يَنْتَظِرُ ۖ وَمَا بَدَّلُوا تَبْدِيلًا
“Di antara orang-orang mukmin itu ada orang-orang yang menepati apa yang telah mereka janjikan kepada Allah; maka di antara mereka ada yang gugur. Dan di antara mereka ada (pula) yang menunggu-nunggu dan mereka tidak merubah (janjinya).” (QS. Al-Ahzab: 23).
Kemudian beliau mempersaksikan bahwa sahabat-sahabatnya yang gugur adalah syuhada di sisi Allah.
Setelah itu, beliau berkata kepada jasad Mush’ab, “Sungguh aku melihatmu ketika di Mekah, tidak ada seorang pun yang lebih baik pakaiannya dan rapi penampilannya daripada engkau. Dan sekarang rambutmu kusut dan (pakaianmu) kain burdah.”
Tak sehelai pun kain untuk kafan yang menutupi jasadnya kecuali sehelai burdah. Andainya ditaruh di atas kepalanya, terbukalah kedua kakinya. Sebaliknya, bila ditutupkan ke kakinya, terbukalah kepalanya. Sehingga Rasulullah bersabda, “Tutupkanlah kebagian kepalanya, dan kakinya tutupilah dengan rumput idkhir.”
Mush’ab wafat setelah 32 bulan hijrahnya Nabi ke Madinah. Saat itu usianya 40 tahun.
Para Sahabat Mengenang Mush’ab bin Umair
Di masa kemudian, setelah umat Islam jaya, Abdurrahman bin Auf radhiyallahu ‘anhu yang sedang dihidangkan makanan mengenang Mush’ab bin Umair. Ia berkata, “Mush’ab bin Umair telah wafat terbunuh, dan dia lebih baik dariku. Tidak ada kain yang menutupi jasadnya kecuali sehelai burdah”. (HR. Bukhari no. 1273). Abdurrahman bin Auf pun menangis dan tidak sanggup menyantap makanan yang dihidangkan.
Khabab berkata mengenang Mush’ab, “Ia terbunuh di Perang Uhud. Ia hanya meninggalkan pakaian wool bergaris-garis (untuk kafannya). Kalau kami tutupkan kain itu di kepalanya, maka kakinya terbuka. Jika kami tarik ke kakinya, maka kepalanya terbuka. Rasulullah pun memerintahkan kami agar menarik kain ke arah kepalanya dan menutupi kakinya dengan rumput idkhir…” (HR. Bukhari no.3897).
Penutup
Semoga Allah meridhai Mush’ab bin Umair dan menjadikannya teladan bagi pemuda-pemuda Islam. Mush’ab telah mengajarkan bahwa dunia ini tidak ada artinya dibanding dengan kehidupan akhirat. Ia tinggalkan semua kemewahan dunia ketika kemewahan dunia itu menghalanginya untuk mendapatkan ridha Allah.
Mush’ab juga merupakan seorang pemuda yang teladan dalam bersemangat menuntut ilmu, mengamlakannya, dan mendakwahkannya. Ia memiliki kecerdasan dalam memahami nash-nash syariat, pandai dalam menyampaikannya, dan kuat argumentasinya.
Sumber:
al-Jabiri, Adnan bin Sulaiman. 2014. Shirah ash-Shahabi al-Jali: Mush’ab bin Umair. Jeddah: Dar al-Waraq al-Tsaqafah
Mubarakfury, Shafiyurrahman. 2007. ar-Rahiq al-Makhtum. Qatar: Wizarah al-Awqaf wa asy-Syu-un al-Islamiyah